Jakarta lumpuh total, banjir membuat aktivitas
padat mendadak terhenti. Kemacetan di mana-mana, kota sibuk berubah jadi
“tempat penampungan air”. Yang di jalanan terjebak tak bisa pulang, yang di
rumah terisolasi tanpa bisa berbuat apa-apa. Akhirnya, hanya satu yang
dipertanyakan: Jakarta bebas banjir, apa mungkin? Dokumentasi dari berbagai
sumber
1#
Mitos:
Banjir 5 tahunan.
Fakta: Masih
ingat dengan banjir besar yang melanda Jakarta tahun 2002 dan 2007 silam?
Itulah yang memunculkan mitos adanya banjir 5 tahunan. Faktanya, banjir tak
pernah bisa diprediksi berdasarkan waktu. Istilah “5 tahunan” hanyalah istilah
statistik. Banjir merupakan kejadian acak yang besar-kecilnya hanya berdasarkan
kemungkinan, bukan siklus. Edwin pernah menganalisis probabilitas banjir
(debit) yang terlampaui tiap tahunnya, dengan hasil nilai probabilitas sebesar
20%. Dengan kata lain, debit banjir sebesar 20% itu tidak hanya terjadi tiap
lima tahun sekali, tapi tiap tahun. Hanya, kuantitasnya-lah yang berbeda.
2#
Mitos:
Sampah, penyebab utama banjir.
Fakta:
Sampah bukan satu-satunya penyebab terjadinya sedimentasi, karena sedimentasi
merupakan proses alami yang pasti akan terjadi di sungai, sehingga masyarakat
yang tinggal di bantaran sungai tak bisa terus disalahkan sebagai penyebab
utama sedimentasi. Cara paling efektif untuk mengatasinya adalah memelihara
sungai, dengan pengerukan tahunan untuk menyingkirkan endapan yang terbawa
arus, misalnya.
3#
Mitos:
Prinsip sederhana daya gravitasi—air mengalir dari tempat yang tinggi ke
rendah—bisa diterapkan untuk mengatasi banjir Jakarta.
Fakta:
Prinsip dasar gravitasi itu memang sederhana, tapi tak semudah penerapannya
dalam kasus banjir di Jakarta. Faktanya, penerapan daya gravitasi pada sistem
kanal kurang efektif karena topografi Jakarta yang variatif, ada daerah yang
letaknya lebih tinggi, rendah, maupun datar. Air tak bisa dengan alami mengalir
mengandalkan daya gravitasi semata.
4#
Mitos:
Sistem pompa air cukup efektif menahan aliran air dari tempat yang lebih
tinggi.
Fakta:
Sistem pompa air atau polder efektif menahan aliran air ke daerah rendah maupun
mengurangi genangan air, tapi dengan syarat penampungan yang ideal tersedia,
karena fungsi pompa air ini adalah untuk menahan air, menampung, kemudian
membuangnya dengan cara dipompa. Nah, setelah pompa menjalankan tugas dengan
baik, giliran penampungan yang sangat dibutuhkan untuk menurunkan puncak
banjir, beban saluran di hilir, juga menurunkan beban pompa. Penampungan
seperti apa yang dimaksud? Bisa sungai, danau, maupun waduk. Ketika semuanya
meluap? Ini yang mesti dipikirkan.
5#
Mitos:
Jakarta kerap banjir, artinya stok air pun melimpah.
Fakta:
Jakarta memang kerap banjir, tapi faktanya Jakarta kekurangan air bersih. Hal
itu terjadi karena ketidakmampuan masyarakat memanajemen air, sehingga air yang
seharusnya bisa ditampung baik di permukaan maupun dalam tanah, justru langsung
mengalir ke laut. Penggunaan
air tanah, termasuk minyak bumi, yang tak kenal batas juga membuat permukaan
tanah Jakarta kian cepat menurun, sehingga beberapa daerah sukses menjadi
tempat limpahan air dari daerah yang lebih tinggi, seperti Bogor. Padahal, kita
semua tahu air tanah yang ada sejak ribuan tahun itu tak bisa diperbarui.
#6
Mitos:
Jakarta bisa bebas banjir.
Fakta:
Jakarta bebas banjir sangat sulit terwujud karena butuh waktu panjang, juga
dana yang tak sedikit. Jadi, mustahil mewujudkan Jakarta bebas banjir dalam
waktu singkat, maksimal hanya bisa berkurang sedikit demi sedikit. Itulah yang
diungkapkan Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Wisnu Subagyo. Jakarta
butuh lebih banyak tempat penampungan air atau polder untuk menggenapi yang
sudah ada, tapi untuk membangun satu saja, dana yang harus disiapkan mencapai
sekitar triliunan Rupiah.
Selain itu, pengerukan sungai
juga membutuhkan biaya yang tak murah, hingga miliaran Rupiah. Peneliti sumber
daya air Institut Teknologi Bandung (ITB), Hendratmo Soekarno, pun pesimis
Jakarta bisa bebas banjir, karena menurutnya intensitas hujan berubah-ubah,
sementara jumlah penampungan air, seperti saluran atau daerah resapan, terus
menyempit dan menipis. Pengerukan saluran air toh cuma mampu bertahan 2 tahun,
lewat dari itu volume air dan luas penampung yang tidak seimbang menyebabkan
air bisa meluber. Padahal, saluran air di DKI baru mulai dikeruk beberapa tahun
belakangan, setelah selama puluhan tahun tak pernah “disentuh”.
Ya, begitulah faktanya, tapi
bukan berarti kita sebagai penduduk Jakarta tak bisa berbuat sesuatu untuk
mengurangi banjir. Sudah tahu mana mitos dan mana fakta, saatnya memulai gaya
hidup hemat air dan, tentu saja, lebih peduli pada kebersihan lingkungan.
Ingat, banjir adalah tanggung jawab kita bersama.
SUMBER: http://www.fimela.com/read/2013/01/18/ibukota-darurat-banjir-ini-dia-6-mitos-fakta-seputar-banjir-jakarta?page=0,0
1 komentar:
Posting Komentar